erlalu
cepat kurasakan kesenangan itu berlalu, masa dimana liburan panjang setelah kelulusan
tiba begitu mendadak di akhir bulan mei. Kehidupan pondok membuat ku sadar
bahwa perjuangan untuk mencapai sebuah ksuksesan tidaklah mudah. Pengorbananku
pun menjadi pendorong bangkitnya semangat dan spiritualku, tahajud kulakukan
setiap malam, sholad dhuha tak pernah ku tinggalkan, melakaukan yang terbaik
demi mencapai puncak kelulusan yang diinginkan.
Perlahan kumasuki jenjang pendidikan akhir dengan berjuta
harapan dan doa yang selalu aku panjatkan di setiap sholatku. Bangwa aku akan
melakukan amalan yang tlah ku dapat di pondok pesantren, sholat tahajud, dhuha,
berbuat baik.
Saat berkenalan dengan mereka aku ingin ada
hal yang menarik yang bisa membuat ku berubah, menjadi manusia yang bisa
mengerti segalanya yang dulu aku impikan, membuatku ceria di setiap detik hidup
ini yang bisa menjadikan hidupku lebih hidup, menggambar apa yang telah aku
gambarkan seperti dalam benakku, bersemangat belajar agar kita bisa mencapai
cita bersama, membawaku pada pribadi yg lebih bersemangat dan pede.
Kulihat
diriku masih terjatuh di dalam sepiku yang masih saja belum ku temukan sesosok
hati menyapaku untuk bangkit tapi masih ku ingat 1 kata “seseorang takkan
melihatmu di sana sebelum kou berusaha,,..”. saat ini aku belum bisa berbuat
apa apa untuk diriku. Masih seperti dulu kututupkan mukaku dari semua yang ku
pandang, aku masih ragu dengan langkah yang ku tempuh. Melangkah dan melangkah
yang aku tahu, tanpa kenal lelah.
Dalam sepi ini aku hanya butuh seseorang yang
bisa mengerti aku dengan semua ktulusan hati smua senyumnya yang selalu
membangkitkanku saat ku terjatuh, walau ku tahu bahwa tak ada satu pun orang di
dunia ini yang sempurna tercipta, walau sempurna fisik tapi hati mereka belum
tentu sempurna. Aku tak bisa berkata, berbuat, dan menyatakan sesuatu apa pun.
Hari smakin lama semakin membuatku yakin
bahwa ada orang yang bisa mengertiku. Kutunggu hingga mereka membuat aku
percaya bahwa merekalah teman-teman ku. Seperti biasa yg ku alami aku selalu
sendiri, tapi aku selalu merasakan kberadaan mereka ada, agarku tak merasa
ksepian. Kutangkas semua kmarahanku agar tak menimbulkan konflik dalam
pertemananku.
Kebiasaan itu pun perlahan pergi dengan
perlahan terdorong oleh kemalasanku. Tahajudku perlahan mulai ku abaikan, dhuha
yang dulu sempat kutinggalkan sekarang perlahan kubangun kenbali tiang tiang
yang mungki bertambah rapuh saat kutinggalkan, amal kebaikan yang sempat
terkikis akan kesenangan yang kurasakan pun aku berusaha merapikannya kembali.
Suatu saat ku temui hari dimana aku sangat
merasakan bahwaku terjatuh terlalu dalam, membuatku slalu bertanya “apa yang
terjadi padaq?” yang membuat hatiku bimbang tak menentu, tanpakata dan tanpa
ekspresi dia menjauhi ku perlahan, walau hanya satu-dua hari tapi aku merasa
dia sangat jauh denganku,
Suatu siang yang berketurutan aku tak bisa
mengikuti rapat di suatu orgnisasi yang telah aku ikuti. Karna alasan yang
benar adanya, hingga aku tak bisa mengikuti rapat itu. “ayo la ikut rapat, aaah kamu nii masak gg ikut lagi, kamu
temen yang paling jahat yang aku kenal.” “tapi aku beneran gak bisa, aku
harus ke dokter.” Jawabku dengan penuh pengharapan. Aku pun pergi
meninggalkannya bersama teman-temannya.
Dalam perjalanan aku terus berdoa agar
dia bias mengertiku, rasa was-was pun mulai muncul dan beberapa saat kemudian
menghilang kembali. Hanya dzikir yang aku ingat.
Hari ini pun berlalu begitu cepat,
membuatku tak begitu menikmati indahnya malam nan cantik. Pukul empat tepat
alarmku berbunyi bersamaan dengan getaran hp yang menggelitik jemariku.
Ternyata aku tertidur sangat lelap. Aku bergegas man did an merapikan diri
mematut di depan kaca dan mulai memakai sepatu, lalu pergi menunggu bis.
Matahari mulai muncul menyapa seluruh warga
yang ada, sembari kunaiki bis yang perlahan mulai jalan matahari menyinari
wajahku dengan penuh doa kebaikan. Kududuki kursi bis mustika tepat baris ke
tiga di belakang sopir bus. Dan mulai ku baca buku bacaanku.
Ku hirup udara pagi dengan perlahan,
segarnya udara pagi member semangat baru pada diriku. Kusapa semua teman yang
ada, lagi-lagi kudapati wajah yang kurang bersahabat denganku. “Wajah itu…?”
batinku bertanya.
Setelah hari itu, kulihat lagi wajah
dan pandangan yang tak bias ku elakkan bahwa dia punya rasa yang tak enak
padaku. Mulai ku berpikir apa yang salah akan diri ini? Kejadian kemaren firasatku
memburuk perasaanku jadi tak menentu ingin rasanya aku bertanya mengapa harus marah padahal bisa
diselesaikan dengan pikiran dingin?
Rasanya
badan ini sangat lemas, kuingat dahulu. Aku yang selalu ceria walau hati ini
menangis. Aku salah, aku ingat bahwa dulu aku selalu ingin mendekatiMu, meminta
pertolongan padaMU, menangis
di hadapanMU, tapi sekarang aku lalai akan kodratku sebagai manusia, maafkan
hamba yang telah lalai akan kebutuhanku.
Kucoba mendekatinya pelan-pelan tapi
juga tak berhasil, kumencari waktu yang tepat dimana dia bisa menerimaku dengan
baik.
Mungkin sekaranglah waktu yang tepat
dimana dia bias menerima respon dariku, saat ini.”maafkan aku yang telah
meninggalkanmu.” sesaat setelah semuanya luntur akan ketulusan senyumnya.